Cerpen Literasi
Kebahagiaan
yang Pergi Bersama Bunda
Karya Azizah Ashri
M
Sore
itu, pukul 16.00. Siswa-siswi di sekolahku berlalu-lalang melewati gerbang
sekolah yang sedari tadi kusandari. Mereka tampak bahagia bersama temannya
masing-masing. Tawa, canda, dan cerita-cerita kejadian hari itu sibuk mereka
bicarakan secara bergantian. Berdua, bertiga, ada pun yang berlima atau lebih.
Sungguh bahagia menjadi mereka. Tidak seperti aku yang hanya bisa menatap
mereka diam dalam kesendirian. Tetapi tidak perlu khawatir, aku sudah beribu
kali beradaptasi dengan keadaan seperti ini.
Akhirnya,
setelah menunggu sekitar 30 menit, supirku yang sudah tua namun tetap ulet itu
muncul di gerbang bersama sedan pribadiku. Seperti biasa, disaat seperti ini,
supir tua itu selalu berucap “Maaf non
telat jemputnya, macet. Non sudah menunggu lama ya?”. Tanpa memedulikannya,
aku langsung masuk ke dalam mobil dan segera berkutat dengan telepon genggamku.
Ya,
seperti ini lah keseharianku. Hanya seputar bangun pagi, bersiap, pergi ke sekolah,
belajar, dan pulang kembali ke rumah. Semua itu kulakukan benar-benar dalam
kesendirian. Tidak usah bertanya dimana teman-teman sekolahku. Mereka tidak
ada. Aku tidak punya teman di sekolah, dan aku tidak lagi mempermasalahkannya.
Mereka semua tidak mengerti kesulitanku dalam berusaha menyapa, mengajak untuk
mengobrol, atau sekedar tersenyum ke mereka. Mereka tidak memedulikan hal itu.
Satu hal yang ada di pikiran mereka adalah “Aku adalah seorang anak pengusaha
yang sombong”
Ohya,
namaku Tania. Tania Putri Hermawan. Kata terakhir dari namaku memang kudapatkan
dari ayahku. Ia adalah seorang pengusaha yang cukup ternama. Tetapi aku tidak
suka dengannya, karena ia mengurung dirinya di tengah kesibukan mengurus
investasi atau saham-saham. Memang sepertinya lembar-lembar saham itu jauh
lebih penting untuk diurus dibanding aku, anaknya sendiri. Dan jika kalian
tanya dimana bundaku, maka jawabannya adalah aku tidak tahu. Yang kutahu
hanyalah bunda adalah tokoh terjahat dalam cerita ini. Bunda tega meninggalkanku
dengan ayah yang gila kerja itu, selama-lamanya. Padahal, bunda adalah
satu-satunya orang di dunia ini yang bisa membuatku tersenyum, tertawa, dan
bahagia. Maka ketika bunda pergi, seolah senyum, tawa, dan kebahagiaanku ikut
pergi bersamanya, dan takkan pernah kembali.
Menurutku,
semua orang yang ada di sekitarku jahat. Tidak ada yang memedulikanku. Bunda,
ayah, teman, semuanya. Tidak usah hitung kepedulian dari para pekerja di
rumahku. Karena aku tahu kepedulian mereka untukku hanyalah sambilan pekerjaan
mereka. Kepedulian itu hanyalah sandiwara belaka. Orang mana yang mau peduli
dengan anak-tanpa-ibu dan ayah yang kaya raya. Paling-paling ada udang
tersembunyi di balik batu. Mereka tidak mungkin peduli tanpa ada maksud
tertentu. Yang mereka butuh hanyalah uang untuk menghidupi keluarganya.
Dulu
aku selalu sedih dengan keadaanku yang seperti ini. Aku kesal dan marah. Aku
tidak bisa menerima keadaan dan takdirku. Tapi kini aku merubah pola pikiranku.
Aku hanya harus menjalani hidupku seperti biasanya. Untungnya, waktu berbaik
hati menemani segala kesendirian. Karena semua orang yang ada di dunia seolah
tidak memedulikanku, maka mudah jadinya. Aku pun tidak akan peduli dengan
mereka. Aku membangun duniaku sendiri sambil menunggu saat itu tiba. Saat
dimana seseorang membawa kembali
kebahagiaanku, meskipun orang itu bukan bunda.
“Tuhan, sampai kapan aku harus menunggu?”.
Itu adalah pertanyaanku sekarang. Tetapi apapun jawabannya, aku tetap percaya
saat itu akan tiba. Saat dimana aku mendapatkan kebahagiaanku kembali. Aku
tidak sabar menanti, namun segalanya hanya bisa ku semogakan dalam hati.
Komentar
Posting Komentar